Studi pengaruh neoliberalisme dalam bidang pendidikan dikaitkan dengan konstilasi politik Internasional terhadap Indonesia.
Oleh : Lakso Anindito
Arus Neoliberalisme di Segala Bidang
Liberalisasi di segala bidang seakan menjadi mainstream di dunia untuk menuju modernitas. Liberalisasi dianggap sebagai suatu konsepsi yang dianggap dapat membangun negara menjadi negara modern dengan keterbukaan di segala bidang. Melalui liberalisasi, berbagai akses dianggap terbuka dan mendorong adanya kebebasan bagi setiap orang untuk berusaha untuk mengakumulasi modal dari berbagai sektor kehidupan. Terlebih konsep liberalisasi saat ini merupakan aplikasi dari konsep neoliberalisme yang dianggap sebagai penyempurnaan dari konsep klasik gaya Adam Smith pasca perang dingin. Dimulai dengan kebijakan Margaret Teacher di Inggris, kebijakan dengan basis neoliberalisme tumbuh subur di dunia.
Melalui liberalisasi yang menjadi kendaraan bagi kapitalisme diharapkan tercipta sebuah persaingan bebas tanpa banyak campur tangan negara dimana setiap orang bersaing dalam akumulasi kapital. Melalui konsep neoliberalisme, sebuah jalan baru liberalisasi diharapkan terbentuk sehingga perusahaan bebas bergerak di setiap lini bahkan lini publik sekalipun. Bahkan menurut Friedman sistem pasar merupakan dasar dari tatanan yang murni bebas sebab kebebasan ekonomi merupakan ‘syarat esensial bagi kebebasan politik (seperri dikutip Held, 1995 : 243). Hasilnya, berbagai kalangan elit negara menganggap liberalisasi merupakan jalan untuk mewujudkan pertumbuhan investasi positif di suatu negara.
Dipimpin tiga institusi yag dijuluki oleh gerakan anti globalisasi sebagai tiga setan dunia yaitu Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) aplikasi konsepsi neoliberalisme diwujudkan. Akibatnya, di berbagai belahan dunia, terutama bagi negara yang tergantung dengan institusi tersebut, kebijakan yang dikeluarkan oleh elit pro dengan konsepsi liberalisasi di segala bidang. Salah satu dampaknya adalah privatisasi sektor publik di berbagai negara berkembang.
Privatisasi air yang terjadi di Filipina merupakan fakta nyata liberalisasi yang merambah ke sektor publik. Privatisasi tersebut merupakan salah satu persyaratan IMF dan Bank Dunia untuk memberikan pinjaman ke negara tersebut. Pelayanan air yang diserahkan pada Ondeo/Suez Lyonnaise des Eaux pada awalnya memberikan dampak positif dengan dibangunnya jaringan untuk satu juta pelanggan pada 1997-2003. Akan tetapi, ternyata harga naik sampai 425 persen, sehingga kaum miskin tidak dapat mengakses pelayanan air tersebut. Kebocoran pun lebih tinggi saat harga dinaikan. Pada Desember 2002, pelayanan air dihentikan di barat Metro Manila sehingga 6,5 Juta masyarakat tidak dapat mengakses air. Lebih parah lagi, perusahaan tersebut menuntut ganti rugi kepada pemerintah sebanyak 303 juta dollar AS kepada pemerintah Filipina. Hal yang tidak jauh berbeda pun terjadi di Cochabamba, Bolivia, privatisasi air yang dipelopori Bank Dunia berakhir dengan kerusuhan karena harga naik. Di Afrika Selatan, privatisasi air minum berakibat pengurangan pasokan bagi rakyat miskin. Hal tersebut menyebabkan epedemik kolera di Kwazulu, Natal, pada Oktober 2000. Indonesia pun terkena dampaknya. Sekitar 2, 73 miliar air dikuasai oleh dua perusahaan yang sahamnya di pegang oleh asing, yaitu Aqua (Grup Danone) dan Ades (coca-cola Company). PDAM sebagai institusi milik negara pun tidak luput dari swastanisasi. Ketika perusahaan tersebut tidak mampu membayar utang maka swastanisasi proyek menjadi jalan yang ditempuh.
Proses bisnis sektor publik air dan pangan bernilai memang miliaran dolar. Tetapi ternyata di sisi lain, 2,8 miliar orang hidup dengan biaya kurang dari 2 dollar AS sehari dan 1,2 miliar orang hidup dengan kurang dari 1 dollar AS sehari. Sekitar 840 Juta orang kelaparan di seluruh dunia. 1,1, miliar orang tidak mendapatkan akses pada air bersih.
Sementara itu, suatu laporan kritis menyimpulakan negara-negara yang menerapkan program penyesuaian struktural dengan ketat sesuai konsep ekonomi neoliberaisme mengalami kinerja ekonomi, dengan peningkatan – (minus) 0,53 Persen, yang lebih longgar tumbuh + (plus) 2 persen. Sedangkan yang tidak menjalankan program penyesuaian + (plus) 3,5 persen per tahun (Abrahamsen, 2002 : 148).
Di sisi lain, kondisi kemiskinan semakin buruk. Pada tahun 1990-an, dengan melihat garis kemiskinan ekstrim dengan konsumsi satu dollar AS sehari, kurang lebih 33 persen penduduk dunia di negara berkembang mengalami kesengsaraan. Anehnya, pada tahun 2001, Merril Lynch mengungkapkan bahwa orang-orang yang mempunyai aset sekurang-kurangnya 1 juta dollar AS meningkat empat kali lipat antara tahun 1986-2000. Artinya orang kaya tetap semakin kaya dan yang miskin semakin banyak pula. Jurang sosial menjadi sesuatu yang tidak teelakkan.
Keadaan semakin parah ketika saat ini dengan dimasukkannya pendidikan menjadi komoditas yang dapat diliberalisasi. Liberalisasi di segala bidang termasuk pendidikan saat ini semakin menguat disokong oleh globalisasi yang menurut kaum hiperglobalisasi menjadikan lingkungan ekonomi tanpa batas (economic borderless) dan menempatkan pemerintah nasional tidak lebih dari transmission belts bagi Kapital global (David Held, dkk, 1992: 2). Artinya tanggung jawab pemerintah dalam pendidikan direduksi.
Pendidikan Sebagai Hak Asasi
Padahal, konsepsi tentang hak memperoleh pendidikan merupakan suatu konsepsi yang tidak dapat dilepaskan dari kontruksi HAM. Hal tersebut disebabkan hak memperoleh pendidikan merupakan hak mendasar yang seharusnya dimiliki setiap manusia. Paragrhap (1) Article 26 Universal Declaration of Human Rights, yang berbunyi,
“Everyone has the right to education. Education shall be free, at least in the elementary and fundamental stages. Elementary education shall be compulsory. Technical and professional education shall be made generally available and higher education shall be equally accessible to all on the basis of merit;”
Pasal tersebut menegaskan arti penting pendidikan. Sebuah arti penting bahwa pendidikan merupakan hak setiap orang untuk dapat mengaksesnya. Terutama mendapatkan pendidikan menengah dan dasar dengan gratis. Sedangkan, dalam Article 2 Universal Declaration of Human Rights, yang berbunyi :
“Everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth in this Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status. Furthermore, no distinction shall be made on the basis of the political, jurisdictional or international status of the country or territory to which a person belongs, whether it be independent, trust, non-self-governing or under any other limitation of sovereignty”
menguatkan bahwa hak-hak yang tercantum dalam Piagam Universal HAM merupakan kesatuan dalam konsep HAM yang tidak dapat dipisahkan dari suatu konteks HAM secara global. Termasuk yang didalamnya adalah hak untuk mendapatkan pendidikan.
Selain itu, pasal tersebut juga menegaskan bahwa setiap orang harus dapat mengakses semua hak asasi yang ada tanpa terkeuali. Hal tersebut semakin meyakinkan bahwa hak memperoleh pendidikan adalah hak universal tanpa mengenal ras, agama, maupun letak geogarfis.
Piagam tersebut didukung dan diperkuat kembali oleh berbagai konvenan lainnya seperti
INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS maupun Prinsip-Prinsip Paris. Sedangkan, bila kita melihat jaminan hak untuk mendapatkan pendidikan dalam konteks nasioanal, kita akan menemukan bahwa Indonesia sebagai negara yang mengutamkan hak asasi manusia dalam idealita sangat memprioritaskan masalah pendidikan. Pendidikan merupakan suatu hak yang dilindungi langsung oleh UUD. Dalam Ayat (1) Pasal 31 UUD 1945 menyebutkan bahwa, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”.
Hal tersebut menyebutkan bahwa hak untuk mendapatkan pendidikan merupakan hak yang tidak dapat ditawar lagi karena tercantum langsung di konstitusi yang merupakan fundament norm yang menjadi dasar pijakan negara.
Hak tersebut bahkan di konkritkan melalui amandemen ke empat dengan adanya kewajiban pemerintah untuk membiayainya minimal untuk pendidikan dasar yang diwajibkan bagi warga negara. Seperti yang tercantum pada Ayat (2) Pasal 31 UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Aplikasi pelaksanaan kewajiban negara dalam bidang pendidikan tersebut diperjelas kembali bentuknya melalui adanya Ayat (4) Pasal 31 UUD 1945, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaranpendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
Sehingga adanya jaminan bahwa pemerintah harus memprioritaskan alokasi anggaran dalam hal pendidikan demi tercapainya tujuan nasional. Konkritsasi dalam bentuk presentase tersebut merupakan sebuah keinginan konstistusi agar pemerintah benar-benar merealisasikan prioritas anggaran pada pendidikan. Prioritas tersebut dibangun dengan sebuah evaluasi dan pembahasan bahwa pendidikan merupakan suatu hak dasar yang penting.
Hal tersebut semakin diperkuat dengan keluarnya UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant On Economic, Social, and Culture yang meratifikasi Convenant On Economic, Social, and Culture yang mengatur hak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut dijelaskan dalam Ayat (1) Pasal 13 UU Nomor 11 Tahun 2005 tersebut, “Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Mereka menyetujui bahwa pendidikan harus diarahkan pada perkembangan kepribadian manusia seutuhnya dan kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan atas hak-hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar. Mereka selanjutnya setuju bahwa pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang bebas, meningkatkan rasa pengertian, toleransi serta persahabatan antar semua bangsa dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan lebih memajukan kegiatan-kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memelihara perdamaian.”
Serta dijabarkan melalui ayat 2 yang berisi, “Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui bahwa untuk mengupayakan hak tersebut secara penuh: (a) Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang; (b) Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan teknik dan kejuruan tingkat lanjutan pada umumnya, harus tersedia dan terbuka bagi semua orang dengan segala cara yang layak, dan khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-Cuma secara bertahap; (c) Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap; (d) Pendidikan mendasar harus sedapat mungkin didorong atau ditingkatkan bagi orang-orang yang belum mendapatkan atau belum menyelesaikan pendidikan dasar mereka; (e) Pengembangan suatu sistem sekolah pada semua tingkatan harus secara aktif diupayakan, suatu sistem beasiswa yang memadai harus dibentuk dan kondisi-kondisi materiil staf pengajar harus terus menerus diperbaiki.”
Berbagai peraturan perundangan tersebut semakin menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak asasi yang mendasar harus dipenuhi oleh Negara. Baik dari konteks nasional maupun dalam piagam dan konvensi internasonal karena pendidikan merupakan bagian dari sebuah konsepsi global hak asasi manusia yang bersifat universal tanpa mengenal batas-batas geografis. Menyeluruh dan satu kesatuan dalam sebuah frame besar pembangunan HAM di lingkup nasional maupun Internasional. Dan harus teraplikasi melalui prioritas agenda pembangunan pemerintah yang wajib dipenuhi oleh pemerintah.
Institusi Pendidikan : Komoditas Liberalisasi
Ironisnya institusi pendidikan menjadi salah satu targetan komoditas yang dapat diliberalisasi. Sektor pendidikan dalam GATS (General Agreement on Trade Service) terdiri dari Primary Education Services (CPC 921), Secondary Education Services (CPC 922), Higher Education Services (CPC 923), Adult Education Services (CPC 929). Menurut Darmaningtiyasdi setiap sektor (dan subsektor) selalu tercantum ‘others’ yang berarti sektor lain yang belum tercakup (IGJ,2004). Artinya pendidikan merupakan salah satu sektor yang dapat diliberalisasi.
Hal tersebut tidak terlalu mengherankan melihat konsepsi neoliberalisme adalah konsepsi yang intinya adalah pembebasan arus perpindahkan modal dengan mengurangi sebanyak-banyaknya peran negara dalam mengatur perpindahan modal tersebut untuk menuju suatu keadaan pasar bebas di segala bidang. Konsekuensinya adalah semakin direduksinya peran negara sehingga menurut kaum hiperglobalisasi pada akhirnya menjadikan negara hanya sebagai transmission belts bagi kapital global.
B. Herry-Priyono (2004), menulis, “Neoliberalisme dapat diringkas dalam dua definisi, pertama neoliberalisme adalah paham/ agenda pengaturan masyarakat yang didasarkan pada dominasi homo oeconimicus atas dimensi lain manusia (homo culturalis, zoon poltikon, dan homo socialis, dsb). Kedua sebagai kelanjutan pokok pertama, neoliberalisme kemudian juga dipahami sebagai dominasi sektor finansial dan sektor rill dalam ekonomi- politik. Definisi yang pertama lebih menunjuk ‘kolonialisasi eksternal’ homo oeconomicus atas berbagai dimensi antropologis lain dalam multidimensionalitas manusia, sedangkan definisi yang kedua menunjuk ‘kolonialisasi internal’ homo financialis atas aspek-aspek lain dalam multidimensionalitas tata homo oecominicus itu sendiri”.
Artinya konsepsi neoliberalisasme memang mengedepankan aspek ekomonomi yang bebas. Sedangkan aspek lain dikesampingkan. Konsekuensinya aspek kepentingan publik pun dapat dinomorduakan.
Sedikitnya terdapat empat alasan mengapa pendidikan menjadi salah satu komoditas yang dimasukkan oleh para kapitalis dan elit sebagai bidang yang harus diliberalisasi. Pertama, menurut konsensus washington sebagai perlambang neoliberalisme mensyaratkan secara tidak langsung adanya reduksi peran negara dalam pasar. Berangkat dari sebuah konsepsi bahwa sektor publik pun dapat diliberalisasi, mengindikasikan proses liberalisasi jasa merupakan salah satu upaya menciptakan pasar bebas. Subsidi dianggap sebgai candu bagi masyarakat yang harus disingkirkan karean menghambat terciptanya kemandirian individu dan dianggap mengahambat terciptanya pasar bebas dalam persaingan akumulasi modal. Pendidikan merupakan salah satu sektor yang selama ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah karena merupakan kepentingan umum. Akan tetapi, bila dilihat dari konsepsi neoliberalisme, pendidikan pun harus diliberalisasi untuk mencipatakan pasar bebas.
Kedua, Sektor pendidikan merupakan salah satu bisnis yang paling menjanjikan. Mengingat pada era globalisasi ini, pendidikan bukan lagi berfungsi sebagai jendela yang mencerahkan melainkan syarat kebutuhan untuk meningkatkan status ekonomi. Hal tersebut merupakan keharusan yang harus dimiliki seseorang untuk dapat memauki sistem kerja yang ada. Dalam teori kontruksi sosial kapitalisme, pendidikan merupakan media untuk dapat menghasilkan tenaga-tenaga terdidik maupu terlatih untuk mengisi kebutuhan pasar dalam hal ini infrastruktur kapitalis yang diaplikasikan dalam perusahaan-perusahaan besar. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila pola pendidikan yang dihasilkan berpola instan dan menyesuaikan pada kebutuhan dunia kerja. Hal tersebut yang menyebabkan pola pendidikan yang teraplikasi dalam kurikulum di intitusi pendidikan Indonesia semakin berorentasi kepada kebutuhan pasar.
Ketiga, ketergantungan negara berkembang terhadap lembaga internasional akan bantuan. Terjebaknya negara berkembang dalam hutang terhadap IMF dan Bank Dunia memaksa negara berkembang mengalokasikan anggarannya sesuai pesanan kembaga donor. Liberalisasi pendidikan merupakan salah satu pesanan dari lembaga donor yang notabenenya merupakan institusi penyokong neoliberalisme dunia.
Keempat, masih berhubungan dengan alasan ketiga. Negara berkembang di paksa untuk menggunakan alasan ketidakmampuan negara untuk mensubsidi masyarakat. Hal tersebut didukung dengan data bahwa pada tahun ajaran 2002/2003 saat konsep liberalisasi mulai direalisasikan, subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah masih tinggi. UI sebesar Rp 129 miliar, IPB sebesar Rp 92 miliar, ITB sebesar RP adalah 78 miliar, dan UGM terbesar dengan Rp 310 miliar (Koran TEMPO, 6 Juli 2003). Padahal bila kita melihat kebijakan pemerintah. Pemerintah masiha jauh mengalokasikandana besar pada militer, hutang dan subsidi kepada para pengusaha secara tidak langsung. Alasan ketidakmampuan tidak dapat diterima. Negara lain pun yang pedapatan perkapitanya tidak berbeda jauh dengan Indonesia masih dapat mengalokasikan dananya untuk pendidikan sehingga pendidikan dapat murah bahkan gratis. Sebenarnya semua tergantung pada kemauan politik pemerintah. Atau lebih tepatnya kemauan politik elit.
Akibat Liberalisasi Pendidikan di Indonesia
Proses liberalisasi sektor publik di Indonesia ternyata melaui merambah sektor publik di Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan semakin gencarnya berbagai kebijakan yang dikeluarkan elit mengarah ke arah liberalisasi pendidikan. Kebijakan tersebut jelas merugikan karena mereduksi tanggung jawab negara dalam bidang pendidikan. Konsekuensinya akses pendidikan mejadi semakin tertutup.
Proses reduksi tersebut merupakan konsekuensi dari konsepsi besar neoliberalisme. Menurut Susan Geogre (2000, dikutip dari artikel M Mustafied : : 2003), salah satu doktrin neoliberal harus diadopsi negara berkembang adalah pengurangan proteksi sosial bagi warga negara. Korbannnya jelas merupakan negara dunia ketiga termasuk Indonesia yang tergantung dengan lembaga donor dunia.
Baru-baru ini dimasuknya pendidikan menjadi bidang jasa yang dapat ditanamkan investasi modal melalui Pepres Nomor 77 Tahun 2007 merupakn bukti nyata adanya proses liberalisasi pendidikan di Indonesia. Melalui adanya Pepres 77 Tahun 2007, sektor pendidikan merupakan sektor yang dimasukkan dalam daftar untuk penanaman modal. Hal tersebut merupakan langkah mundur bagi pembangunan hak pendidikan di Indonesia karena bila pendidikan dimasukkan dalam investasi maka sudah pasti biaya pendidikan akan naik dan akses bagi rakyat semakin tertutup. Menurut mantan Rektor Universitas Gadjah Mada Sofian Effendi, masuknya bidang pendidikan sebagai bidang usaha terbuka bagi penanaman modal asing, meski dengan persyaratan, jelas mengindikasikan bahwa pemerintah telah memosisikan pendidikan sebagai komoditas. Kekuatiran tersebut tidaklah berlebihan, mengingat angka investasi yang dapat menyentuh 49 persen menurut Pepres tersebut. Hal ini mengindikasikan memang Indonesia telah mengikuti kemauan para kapitalis Internasional dalam pengambilan kebijakan menyangkut sektor publik.
Peprres tersebut tidak dapat dilepaskan dari konstilasi politik Internasional. Fakta menunjukan Kesepakatan GATTs merupakan bukti nyata bahwa liberalisasi pendidikan bukanlah hanya isu semata. Dalam ketentuan GATS sendiri setiap anggota WTO berhak mengajukan permintaan dan penawaran untuk sektor-sektor yang akan diliberalisasi. Jasa pendidikan, jasa keuangan, dan kesehatan merupakan sektor yang ditawarkan untuk diliberalisasi. Adapun batas waktu initial offer dan initial request sektor-sektor jasa yang akan diliberalisasi pada Mei 2005, dan akan dibahas pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) di Hong Kong Desember 2005. Sedangkan dari pihak pemerintah kementerian pendidikan ternyata tidak mengajukan keberatan. Padahal bila pemerintah mengajukan keberatan, pendidikan dapat tidak dimasukkan dalam bidang yang dinegoisasikan. Hal tersebut menunjukan tidak ada itikad pemerintah untuk menolak liberalisasi pendidikan. Walaupun Forum Rektor Indonesia (FRI) dan Majelis Rektor Perguruan Tinggi (MR-PTN) secara resmi telah menyatakan penolakan WTO. Bahkan, pernyataan resminya sudah dikirim ke UNICEF dan WTO. Sayangnya, pihak pemerintah masih mengeluarkan kebijakan yang sejalan dengan kesepakatan yang bermuatan neoliberalisme di Indonesia.
Tidak terpenuhinya amanah konstitusi untuk adanya prioritas minimal 20 % bagi pendidikan oleh pemerintah tidak terelepas dari tidak diprioritaskannya pendidikan oleh Indonesia. Alokasi 20 % merupakan angka minimal sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam hal pendidikan. Sayangnya, sampai hari ini anggaran tersebut belum tercapai. Pada tahun 2007 dari sekitar Rp 495,9 triliun rencana alokasi, pendidikan hanya mendapatkan porsi 10,3 persen atau sekitar Rp 51,3 triliun. Memang secara keseluruhan anggaran pendidikan mengalami kenaikan dari tahun 2006, yang sekitar Rp 43,3 triliun. Tapi kenaikannya sangat kecil, kurang dari 2 persen saja. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah belum cukup bertanggung jawab dalam masalah hak pendidikan yang berhubungan pula dengan adanya liberalisasi pendidikan di Indonesia.
Padahal 20 % tersebut di konstitusi merupakan suatu parameter perhatian pemerintah terhadap hak pendidikan. Bahkan dalam putusannnya Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan selama tidak memenuhi 20 % maka pemerintah masih melanggar konstitusi yang ada. Akibat tidak terpenuhi anggaran pendidikan tersebut, sebagai contoh di Sukabumi yang tidak terlalu jauh dari pusat pemerintahan, pada tahun 2007, 46 ribu orang lulusan Sekolah Dasar (SD) tidak dapat melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi hanya karena masalah biaya. Belum lagi pada tingkatan nasional angka yang putus sekolah masih cukup tingggi.
Rancangan undang-undang Badan Hukum Pendidikan pun disinyalir bermuatan konsep liberalisasi pendidikan di Indonesia. Hingga saat ini belum diselesaikannya karena dikuatirkan hanya menjadi penjelmaan lain dari BHMN. UU Sidiknas pun dianggap sebagai langkah awal pelegalan liberalisasi pendidikan di indonesia.
Liberalisasi Institusi Perguruan Tinggi
Pasca reformasi 1998, berbagai tuntutan perubahan menggema diseluruh nusantara. Kebebasan dan demokrasi menjadi mantra sakti yang didengungkan di penjuru negeri. Termasuk tuntutan adanya otonomi sebebas-bebasnya dalam pengembangan kurikulum bagi institusi pendidikan sebagai anti-tesis dari sentralistisnya kurikulum yang membawa kepentingan doktrinasi Orde Baru. Akhirnya, melalui pemberlakuan PP 60 Tahun 1999 dan PP 61 Tahun 1999, terbukalah secercah harapan adanya otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi.
Akan tetapi, tenyata otonomi kampus tersebut yang seharusnya menjadikan kampus sebagai intitusi yang lebih bebas dan dapat diakses oleh seluruh elemen masyarakat tidak terwujud. Otonomi kampus yang diharapkan menjadi otonomi di bidang akademik disisipi agenda liberaliasasi pendidikan. Sehingga pendidikan yang sudah jelas dalam konstitusi UUD 1945 sebagai tanggung jawab Negara direduksi mengikuti kemauan pasar. Beban biaya penddidikan dialokasikan ke masyarakat. Status Perguruan Tinggi berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Karena peran Negara direduksi. Pendidikan menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan. Untung rugi termasuk menjadi pertimbangan utama. Perguan Tinggi (PT) seakan-akan berpindah fungsi menjadi Perseroan Terbatas (PT). Hal tersebut terlihat mahalnya biaya pendidikan. Kenaikan biaya pendidikan tertjadi di seluruh Indonesia. Perguruan Tinggi berstastus BHMN menjadi. Termasuk Universitas Gadjah Mada (UGM).
Faktanya pasca berlakunya PP 153 Tahun 2000 yang menetapkan UGM bersatstus BHMN, kenaikan biaya terjadi secara signifikan di UGM. Sebeluam adanya satstus BHMN pada tahun 1998 untuk masuk UGM hanya membutuhkan biaya Rp. 250.000,00 padahal di puncak krisis ekonomi. Sekarang biaya minimal untuk masuk ke UGM Rp. 7.240.000, 00 yang terdiri dari SPP, BOP, dan SPMA minimal fakultas Hukum. Terjadi kenaikan sebanyak 28, 96 kali dari sebelum berstastus BHMN. Itupun untuk fakultas social. Untuk fakultas Kedokteran dengan biaya minimal Rp. 12.400.000,00, maka terjadi kenaikan sampai 49,6 kali dari biaya sebelum berstatus BHMN. Kenaikan biaya tersebut terjadi melalui beberapa cara dan tahapan. Mulai dari pengenaan SPMA yang semakin besar sampai kenaikan BOP yang terus memerus.
Hal tersebut tentu saja menimbulkan efek yang luar biasa. Bukan hanya dalam lingkup UGM tetapi lingkup nasional turut pula terpengaruh. Setidaknya ada beberapa akibat besar akibat kenaikan biaya tersebut. Pertama, tertutupnya akses masyarakat tidak mampu untuk dapat masuk ke UGM. Walaupun selama ini UGM menyediakana beasiswa tetapi beasiswa yang disediakan tidak sebanding dengan akibat dari pemberlakuan BHMN UGM. Selain itu, sistem online pendaftaran UM UGM yang menyeluruh semakin menutup kemungkianan bagi siswa tidak mampu untuk mengakses pendidikan kareana untuk memperoleh SPMA (Rp,0,00) cukup sulit diakses. Hal ini pun berlaku di universitas lain. Terutama di perguruan tinggi yang menjadi pilot project di Indonesia yang diotomi. Seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Sumatra Utara (USU).
Kedua, terhambatnya mobilitas vertical sosial masyarakat. Pendidikan selama ini mempunyai peran sebagai sarana untuk meningkatkan status ekonomi masyarakat. Akan tetapi, akses pendidikan yang tertutup bagi mayarakat tidak mampu menyebabkan masyarakat tetap terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan.
Ketiga, bergesernya fungsi perguruan tinggi menjadi penyedia tenaga kerja. Melalui sistem pendidikan yang mahal, peserta didik terjebak dalam sistem yang memaksa untuk cepat lulus dan menutup modal yang dikeluarkan selama kuliah. Sistem tersebutlah yang dikehendaki oleh jerat koorporasi global sehinga perguruan tinggi bukan lagi menjadi sarana pengembangan intelektual melainkan penghasil tenaga kerja untuk kepentingan dan kelangsungan kapitalisme global. Kepekaan terhadap realitas sosial menjadi terabaikan. Hasilnya, bangsa ini kehilangan Advokat yang mau membela kaum miskin. Kita kehilangan dokter-dokter yang mau terjun ke bantaran kali code atau pelosok daerah kumuh Jakarta.
Keempat, Pada akhirnya bangsa ini kehilangan negarawan yang mau mengorban dirinya untuk kepentingan rakyat karena sistem komersil yang membentuk dirinya. Logika yang terbangun di generasi muda Indonesia semakin terjebak pada logika pasar yang mengutamakan untung rugi. Padahal, bila kita tilik sejarah mulai dari perubahan di Kuba oleh Che Guevara dan Fidel Castro, Revolusi di Indonesia oleh Hatta, Syarir, Soekarno, dan pejuang lain sampai Revolusi Islam di Iran oleh Khomeni dan Ali Syariati, semua merupakan kaum intelektual terdidik yang kritis terhadap kondisi bangsa. Bahkan, Pendidikan di letakkan dalam prioritas utama untuk kemajuan di banyak Negara.
26 November 2008
Akibat Liberalisasi Pendidikan di Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar