Ahad, 30 November 2008-Sunday Morning UGM.
Salah satu tradisi unik yang dimiliki UGM adalah pasar minggu pagi yang juga biasa dikenal dengan Sunday Morning. Setiap minggu pagi, kawasan kampus UGM ramai oleh pedagang kaki lima. Mahasiswa dan warga sekitar, baik tua maupun muda tumpah-ruah menikmati suasana pagi sambil berbelanja atau makan di lesehan. Boleh jadi, di seluruh Indonesia, tradisi ini hanya ada di kampus UGM. Hal ini menunjukkan bahwa UGM begitu dekat dengan rakyat dan warga sekitar. Tidak malah menjadi menara gading yang angkuh dan jauh dari rakyat.
Pada sunday morning kemarin yang kebetulan berdekatan dengan momen peringatan hari AIDS internasional, tim M4S L4KSO Center melakukan aksi solidaritas AIDS. Pada aksi yang digelar mulai pukul 6.30 pagi itu, tim M4S L4KSO Center membagikan pesan simpatik tentang AIDS berupa kertas kecil bertuliskan "ALAT KONTRASEPSI PALING AMAN YAITU GAK USAH BERHUBUNGAN, SO, BUKTIKAN CINTA DENGAN PERNIKAHAN" yang ditempeli dengan permen. Antusiasme Sunday Morningers saat itu sangat tinggi terbukti dengan apresiasi dan ucapan terima kasih pada saat mereka menerima pesan itu. Lakso sebagai perwakilan dari M4S L4KSO Center mengungkapkan bahwa momen hari AIDS internasional sangatlah penting. "Hari ini adalah kesempatan kita untuk saling berbagi nasehat tentang bahaya AIDS", ungkapnya.
"Yang paling perlu diperbaiki adalah sistem jaminan kesehatan bagi penderita AIDS karena yang menjadi masalah utama adalah mahalnya obat AIDS", tandasnya saat ditanya tentang permasalahan penanganan AIDS di Indonesia. Aksi yang diselipi dengan "ngamen" dari warung ke warung itu pun berakhir pada pukul 10.00.
"Karena ketika kita bicara soal AIDS, maka kita bicara mengenai moralitas. Karena, menurut saya, alat kontrasepsi paling aman yaitu gak usah berhubungan, kalau mau berhubungan ya harus nikah". Ungkap Lakso menutup wawancara dengan maslaksocenter.blogspot.com. (IF)
01 Desember 2008
Bersama Together Kita Selalu Always Fighting Against AIDS
Label: NEWS
Diposting oleh Mas Lakso Center di 19.50 2 komentar
PLATFORM BEM KM UGM 2008/2009
BEM KM UGM 2008/2009
Kabinet “Persaudaraan demi pembebasaN”
Visi
Membentuk Gerakan Intelegensia yang Mengayomi dan
Mampu Memberikan Solusi
Misi
Persaudaraan, Pemahaman, Perjuangan, dan Pembebasan
Agenda Konkrit :
1. Mewujudkan manfaat langsung BEM KM UGM kepada mahasiswa melalui program pemberdayaan mahasiswa antara lain arahan peluang akses pasca kampus, pengembangan kemampuan mahasiswa dalam hal akademik dan kreasi;
Rasionalisasi
Hari ini, BEM KM UGM dianggap sebagai organisasi ekslusif. Hal tersebut tidaklah mengherankan melihat sebagaian civitas belum merasakan manfaatnya secara langsung. BEM KM UGM seakan hanya diindentikan dengan fungsinya sebagai lembaga yang menjalankan fungsi kontrol politiknya. Melalui adanya fungsi ini diharapkan adanya proses mengayomi di dalam sehingga civitas UGM dapat merasakan manfaat BEM KM UGM untuk membantu melalui realisasi :
a. Arahan peluang pasca kampus yang diwujudkan melalui adanya training
b. motivasi, peluang beasiswa dengan kerjasama lembaga terkait, dan kemampuan teknis dalam mempersiapkan dunia kerja pasca kampus. Hal tersebut sangat realistis mengingat semakin banyaknya beasiswa dalam maupun luar negeri dan lembaga motivasi yang selama ini kurang kerjasama dengan lembaga internal UGM.
c. Pengembangan kemampuan mahasiswa dalam hal akademik dan kreasi melalui adanya kerjasama baik dengan institusi dalam maupun luar UGM terkait pengembangan kemampuan ilmiah mahasiswa UGM dengan adanya program pelatihan dan motivasi untuk mengembalikan UGM menjadi kampus yang para mahasiswanya mempunyai semangat riset yang tinggi.
d. Pengembangan kemampuan mahasiswa dalam kreasi dan seni merupakan hal yang penting sebagai kemanfaat BEM KM UGM. BEM KM UGM berperan sebagai media yang akan bekerjasama dengan UKM maupun elemen seni dan kreasi yang terkait dalam mempromosikan dengan civitas UGM.
2. Inovasi Advokasi internal terkait dengan kebijakan kemahasiswaan dan biaya pendidikan serta eksternal dengan menembak sebab kenaikan biaya pendidikan terutama BHMN serta RUU BHP, BLU, baik melalui proses litigasi maupun non litigasi yang melibatkan elit yaitu dosen dan pengambil kebijakan univesitas serta mengambil peran aktif di Majelis Wali Amanat (MWA);
Rasionalisasi
Proses advokasi sampai hari ini masih menggunakan cara-cara konvesional. Terlebih orentasi gerakan masih terjebak pada akibat kebijakan bukan pada sebab kebijakan. Dibutuhkan suatu kesatuan dari pemikiran dan tindakan yang tepat dan cermat dalam langkah untuk melakukan inovasi. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui langkah
a. Proses advokasi pada tingkat nasional melalui pengajuan draf akibat BHMN dan permasalahan pada konsep BHP ke komisi X DPR RI, serta melakukan desakan baik melalui proses advokasi litigasi terhadap kebijakan yang merugikan dan menyimpang sesuai dengan kompentensi pengadilan yang menangani maupun melalui non litigasi dengan melibatkan jaringan LSM, elit, Universitas, Gerakan ekstra yang konsen menolak proses liberalisasi institusi pendidikan;
b. Proses advokasi di dalam terhadap kebijakan langsung terutama berhubungan dengan akibat atau korban kebijakan dari rektorat maka diadakan sosialisasi yang massif agar isu advokasi menjadi milik bersama dengan melibatkan seluruh BEM/DEMA/LEM maupun HMJ yang ada di UGM dengan langkah advokasi melalui litigasi maupun non litigasi tidak hanya aksi;
3. Pengabdian Masyarakat melalui pemberdayaan desa mitra,pendampingan Pedagang kaki lima, serta Pemberdayaan komunitas Pemulung dan anak jalanan;
Rasionalisasi
Mahasiswa hari ini dianggap hanya dapat menuntut tanpa adanya kontribusi langsung ke masyarakat. Padahal masyarakat membutuhkan tindakan riil untuk disejahterakan. Melalui adanya aksi sosial yang langsung menyentuh persoalan masyarakat maka diharapkan adanya peningkatan kesejahteraan secara sistematis di komunitas yang dibina sebagai program yang berkesinambungan. Hal tersebut diwujudkan melalui
a. Pemberdayaan masyarakat pedesaan minim akses, melalui konsep desa mitra dengan prioritas pendidikan dan kebutuhan dasar peningkatan kesejahteraan;
b. Advokasi Pedagang Kaki Lima melalui pendampingan yang melibatkan LBH dan mitra LSM secara berkelanjutan;
c. Pemberdayaan komunitas pemulung melalui program pendampngan pemulung di timoho dan anak jalanan.
4. Garda terdepan mengawal Pemilu Legislatif dan Eksekutif yang Bersih (melalui komitmen dan janji perubahan yang diusung masing-masing) untuk mendorong masyarakat melakukan kontrol maupun kontrak sosial dan politik
Rasionalisasi
Pemilu merupakan momen yang sangat penting dalam menentukan pergantian elit yang mengambil kebijakan strategis di Indonesia. Oleh karena itu, prinsip independensi dan transparansi untuk mengawal agenda yang di usung elit menjadi sangat penting. Hal ini dapat diwujudkan melalui langkah-langkah :
- Legislatif. Kenaikan jumlah caleg mempersulit pengawalan agenda partai. Cara paling efektif adalah melalui kontrak politik masing-masing partai melalui BEM SI maupun bersama koalisi gerakan lainnya
- Presiden. Adanya penyusunan track record masing–masing calon untuk dipublikasikan ke masyarakat, diikuti oleh desain adanya kontrak politik melalui BEM SI maupun koalisi gerakan lainnya kepada para capres.
- Proses pewacanaan pemimpin muda sebagai salah satu alternatif untuk melancarkan sirkulasi kaderisasi kepemimpinan. Hal ini menjadi salah satu arahan strategis pada saat Pemilu 2009, demi menuntaskan berbagai problematika yang sedang dan akan dihadapi bangsa ini.
5. Tawaran draf alternatif solusi bangsa di 9 sektor strategis sesuai “Tujuh Gugatan Rakyat” (Tugu Rakyat --> Aset strategis, akses pendidikan-kesehatan, ekonomi, politik, hukum, lingkungan, HAM termasuk perlindungan perempuan, energi, dan pangan) dan pengawalan Sumpah Mahasiswa Indonesia menuju kejayaan Indonesia 2025
Rasionalisasi
Gerakan hari ini seharusnya dapat bertranformasi menjadi gerakan yang mampu menawarkan solusi dan alternatif, bukan hanya dapat mengkritisi. Hal tersebut penting mengingat BEM KM UGM merupakan gerakan yang mempunyai basis universitas. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui adanya arahan gerakan yang berbasis riset dan sinergisitas pembagian peran dengan fakultas (shadow govermental cabinet).
6. Gerakan Populis-membumi-cerdas melalui sosialisasi yang masif mengenai isu dengan mengedepankan fungsi media dan penjaringan aspirasi khusus sampai tataran fakultas.
Rasionalisasi
Keresahan harus dapat dirasakan oleh seluruh civitas akademika Universitas Gadjah Mada, untuk menghindarai adanya elitisme isu. Oleh karena itu, dibutuhkan pembahasaan ke publik melalui metode yang populis, sehingga isu dapat membumi dengan strategi yang cerdas. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui :
- Propaganda isu melalui media yang masif dengan pembahasaaan populis baik cetak (Buletin, leaflet, pamlet, dan lain-lain) dan elektronik (Friendster, Facebook, Radio, Televisi, Email,website, dan laun-lain);
- Penjaringan aspirasi pada tingkatan fakultas melalui adanya pusat penjaringan aspirasi BEM KM center yang berbentuk kunjungan berkala ke fakultas, call center, Polling, serta berbagai aktivitas yang lain karena BEM KM milik semua;
- Proses komunikasi massa yang kontekstual seperti panggung seni, musik, maupun film.
7. Gerakan Cendekia Muda Gadjah Mada, upaya ini dilakukan secara taktis melalui kultur literasi, membaca, menulis, meriset, dan berdiskusi, bekerjasama dengan pusat studi serta lembaga penelitian sivitas akademika
Rasionalisasi
Mahasiswa hari ini tidak dapat merumuskan solusi konkrit karena hanya berlandaskan pada luapan emosional belaka. Padahal kajian dan data menjadi landasan utama, ketika kita bicara mengenai kondisi hari ini. Arus informasi sangat cepat, sebagai dampak pesatnya kemajuan teknologi komunikasi. Artinya, tanpa adanya transformasi gerakan menjadi gerakan berbasis data, maka BEM KM UGM akan terjebak pada kondisi organisasi yang tidak relevan dengan zaman. Untuk itulah, ditempuh beberapa hal di bawah ini, melalui :
- Pembagian fungsi yang jelas antara fungsi riset, kajian, dan penyikapan kebijakan. Terutama pembedaan kajian yang bersinambung dan penyikapan terhadap kajian.
- Adanya fungsi riset berdasarkan statistik dan perhandingan data sesuai metodologi yang sesuai
- Kajian berbasis riset dan data dengan denga tema solusi bangsa dalam tujuh gugatan rakyat dengan kerjasama dengan lembaga penelitian dan pusat studi;
- Penyusunan strategi gerakan berlandaskan kajian dan riset.
8. Sinergisitas gerakan dalam lingkup internal melalui adanya pembahasan dan penanggulangan isu bersama BEM/LEM/DEMA fakultas, Lembaga Kajian, UKM, dan berbagai elemen lain (Karyawan, Dosen, dan Guru Besar)
Rasionalisasi
Sinergisitas gerakan internal merupakan suatu konsep ideal ketika bicara mengenai tantangan BEM KM UGM hari ini dan di masa mendatang. Di mana, pembagian peran merupakan hal yang utama dalam menyusun gerakan yang sistemik. Lembaga harus dapat mengutamakan kesatuan gerakan daripada eksistensi lembaga. Arogansi eksistensi lembaga hanya akan menjadi egosime yang memecah belah lemabaga. Melalui :
a. Kunjungan langsung untuk menyerap aspirasi;
b. Lokakarya BEM/DEMA/LEM Se UGM untuk rekonsiliasi gerakan internal;
c. Koordinasi dan komunikasi rutin dengan karyawan, dosen, maupun guru besar.
9. Sinergistas gerakan dalam lingkup eksternal melalui tiga pilar yaitu NGO, BEM SI, dan Gerakan Ekstra untuk menuju rekonsiliasi gerakan
Rasionalisasi
Pengawalan Pemilu memerlukan koordinasi dalam pembangunan gerakan pegawal pemilu yang independen serta dapat mengajukan rekomendasi untuk menuju Indonesia yang lebih baik terutama kontrak politik sebagai jaminan pembuat kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat.
10. Penyikapan kebijakan yang kreatif tidak hanya melalui aksi masa tetapi melingkupi bahasa yang sesuai dengan bahasa populis hari ini seperti aksi seni dan aksi sosial
Rasionalisasi
Data dari Menteri Keilmuan dan Riset Informasi menunjukan bahwa publik mengenal BEM KM UGM dari aksi demonstrasi yang dilakukan. Padahal demontrasi di dunia demokrasi hari ini bukanlah hal yang sakral. Sedangkan, arus informasi tak terbendung serta adanya perubahan tren di mahasiswa hari ini. Diperlukan sebuah inovasi untuk dapat megkomuniakasikan dan menyikapi kebijakan melalui bahahasa hari ini. Baca selanjutnya..
Label: PLATFORM
Diposting oleh Mas Lakso Center di 04.49 0 komentar
28 November 2008
Tak Ada Beda atau Tak Mau Dibedakan
Tak Ada Beda atau Tak mau dibedakan
Ketika nyanyian dan tarian riang demi nilai berdendang di sekolah elit kelas istana
dengan pendingin sejuk yang terus menyala..........
Nyanian ku pun berdendang walaupun di aspal keras terbakar diantara racun kereta mewah raja-raja.......
Tak ada beda atau tak mau dibedakan
Seragam putih merah wangi membalut tubuh bersih terawat dengan sentuhan kasih sayang guru yang tidak sengsara ...
Seragamku pun putih merah, tetapi celana yang bakal memerah karena darah disertai kain kaffan putih membalut tubuh terluka karena todongan murka para pemuda putus asa yang kalah dari dunia....
Tak ada beda atau tak mau dibedakan
Pelajaran tentang negeri kaya tanpa orang sengsara seperti film bintang lima diajarkan dengan fasilitas lengkap berharga permata........
Pelajaranku bercerita tulus sesungguhnya, tentang kesengsaraan dunia yang membatasi penghuninya dengan gizi buruk dan kelaparan karena jual beli yang dianggap lebih beharga........
Tak ada beda atau tak mau dibedakan
Buku impor menjadi pedoman wajib untuk dibaca dengan alat tulis dan kertas merek ternama...
Bacaanku tentang dunia nista merana, koran kuning dengan cover artis bertelanjang dada dengan pembunuhan menjadi berita utama sedangkan alat tulis pilok bekas bermedia tembok tempat tumpah ruah kekecewaan...
Tak ada beda atau tak mau dibedakan
Makan siang dengan menu koki mendunia dalam wadah kaca dari waralaba juga kelas dunia..........
Makan siangku merangkap makan malam dengan menu lebih merana dari kelas pekerja hasil sukarela simpati sesaat dalam wadah sampah kekalutan kota.....
Tak ada beda atau tak mau dibedakan
Tak mau dibedakan atau tak ada beda
Tak ada beda atau tak mau dibedakan
Tak mau dibedakan atau tak ada beda
Akhh....,Kemanakah lautan duka dunia...
Banyak manusia ternyata masih dapat bangun pagi tersenyum seolah tak peduli dengan keadaan tetangga...
Padahal gedung belanja indah menjelma menggantikan sekolah yang dihancurkan kebodohan elit penguasa...
Semua mengalir dalam kebimbangan pencarian arti ocehan manusia putus asa
Yang hanya menimbulkan obrolan pendek terlupa, saat layanan iklan kepedulian ditayangkan di kotak mimpi hampa...
Kenyataannya adalah penindasan nyata yang malu kuakui kepada sesama
Atau hati dunia yang telah menyerah karena saktinya ukiran tinta pemaksaan tanda kekalahan titah raja dari pasar dunia yang menggurita......
Tapi...aku, kamu tidak boleh menyerah pasrah di pojok gang menangis merana karena ternyata kodrat yang Allah berikan kepada kita adalah memperjuangkan cinta......bukan rasa sesaat yang menggemparkan dada lalu terlupa....tetapi hakikat cinta yang ternyata tidak lain adalah keadilan nyata.......
Keadilan sederhana untuk melihat seluruh anak bangsa lintas negara tersenyum bahagia karena dunia yang tak lagi kelam karena keserakahan sehingga dapat berfikir tanpa menghibur diri yang tenggelam dalam kabut ilusi kebodohan kehidupan dunia.........
Label: SYAIR
Diposting oleh Mas Lakso Center di 09.25 1 komentar
Hiruk-Pikuk Kehidupan Manusia
"Syair yang dibuat di tengan hiruk pikuk kehidupan manusia
Tetapi, ternyata hanya hiruk pikuk tanpa arti
Kosong.....
Membosankan.....
Terulang dalam kebodohan rutinitas dunia yang tidak merubah apapun
Terjebak dalam pola dunia
Di mana mobil mengkilat membelah kepadatan kota
Berjejer merayap pelan dalam ritme yang sama
Sedangkan di kanan kiri anak-anak dijadikan senjata untuk memperoleh belas kasihan seratus dua ratus
Dalam pekatnya asap yang dihasilkan oleh mobil berpendingin udara
Ibu tua sekarat dan banyak orang lewat tidak peduli
Mereka terlalu sibuk mengejar jadwal rapi yang telah mereka buat
Untuk mengejar mimpi seperti di sinetron televisi
Bingung....
Inilah kehidupan nyata di kota ini
Silahkan mengumpat
Silahkan memaki
Silahkan menangis
Tapi ingat, jadwal menunggumu....."
-Lakso Anindito-
Label: SYAIR
Diposting oleh Mas Lakso Center di 09.18 3 komentar
26 November 2008
Akibat Liberalisasi Pendidikan di Indonesia
Studi pengaruh neoliberalisme dalam bidang pendidikan dikaitkan dengan konstilasi politik Internasional terhadap Indonesia.
Oleh : Lakso Anindito
Arus Neoliberalisme di Segala Bidang
Liberalisasi di segala bidang seakan menjadi mainstream di dunia untuk menuju modernitas. Liberalisasi dianggap sebagai suatu konsepsi yang dianggap dapat membangun negara menjadi negara modern dengan keterbukaan di segala bidang. Melalui liberalisasi, berbagai akses dianggap terbuka dan mendorong adanya kebebasan bagi setiap orang untuk berusaha untuk mengakumulasi modal dari berbagai sektor kehidupan. Terlebih konsep liberalisasi saat ini merupakan aplikasi dari konsep neoliberalisme yang dianggap sebagai penyempurnaan dari konsep klasik gaya Adam Smith pasca perang dingin. Dimulai dengan kebijakan Margaret Teacher di Inggris, kebijakan dengan basis neoliberalisme tumbuh subur di dunia.
Melalui liberalisasi yang menjadi kendaraan bagi kapitalisme diharapkan tercipta sebuah persaingan bebas tanpa banyak campur tangan negara dimana setiap orang bersaing dalam akumulasi kapital. Melalui konsep neoliberalisme, sebuah jalan baru liberalisasi diharapkan terbentuk sehingga perusahaan bebas bergerak di setiap lini bahkan lini publik sekalipun. Bahkan menurut Friedman sistem pasar merupakan dasar dari tatanan yang murni bebas sebab kebebasan ekonomi merupakan ‘syarat esensial bagi kebebasan politik (seperri dikutip Held, 1995 : 243). Hasilnya, berbagai kalangan elit negara menganggap liberalisasi merupakan jalan untuk mewujudkan pertumbuhan investasi positif di suatu negara.
Dipimpin tiga institusi yag dijuluki oleh gerakan anti globalisasi sebagai tiga setan dunia yaitu Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) aplikasi konsepsi neoliberalisme diwujudkan. Akibatnya, di berbagai belahan dunia, terutama bagi negara yang tergantung dengan institusi tersebut, kebijakan yang dikeluarkan oleh elit pro dengan konsepsi liberalisasi di segala bidang. Salah satu dampaknya adalah privatisasi sektor publik di berbagai negara berkembang.
Privatisasi air yang terjadi di Filipina merupakan fakta nyata liberalisasi yang merambah ke sektor publik. Privatisasi tersebut merupakan salah satu persyaratan IMF dan Bank Dunia untuk memberikan pinjaman ke negara tersebut. Pelayanan air yang diserahkan pada Ondeo/Suez Lyonnaise des Eaux pada awalnya memberikan dampak positif dengan dibangunnya jaringan untuk satu juta pelanggan pada 1997-2003. Akan tetapi, ternyata harga naik sampai 425 persen, sehingga kaum miskin tidak dapat mengakses pelayanan air tersebut. Kebocoran pun lebih tinggi saat harga dinaikan. Pada Desember 2002, pelayanan air dihentikan di barat Metro Manila sehingga 6,5 Juta masyarakat tidak dapat mengakses air. Lebih parah lagi, perusahaan tersebut menuntut ganti rugi kepada pemerintah sebanyak 303 juta dollar AS kepada pemerintah Filipina. Hal yang tidak jauh berbeda pun terjadi di Cochabamba, Bolivia, privatisasi air yang dipelopori Bank Dunia berakhir dengan kerusuhan karena harga naik. Di Afrika Selatan, privatisasi air minum berakibat pengurangan pasokan bagi rakyat miskin. Hal tersebut menyebabkan epedemik kolera di Kwazulu, Natal, pada Oktober 2000. Indonesia pun terkena dampaknya. Sekitar 2, 73 miliar air dikuasai oleh dua perusahaan yang sahamnya di pegang oleh asing, yaitu Aqua (Grup Danone) dan Ades (coca-cola Company). PDAM sebagai institusi milik negara pun tidak luput dari swastanisasi. Ketika perusahaan tersebut tidak mampu membayar utang maka swastanisasi proyek menjadi jalan yang ditempuh.
Proses bisnis sektor publik air dan pangan bernilai memang miliaran dolar. Tetapi ternyata di sisi lain, 2,8 miliar orang hidup dengan biaya kurang dari 2 dollar AS sehari dan 1,2 miliar orang hidup dengan kurang dari 1 dollar AS sehari. Sekitar 840 Juta orang kelaparan di seluruh dunia. 1,1, miliar orang tidak mendapatkan akses pada air bersih.
Sementara itu, suatu laporan kritis menyimpulakan negara-negara yang menerapkan program penyesuaian struktural dengan ketat sesuai konsep ekonomi neoliberaisme mengalami kinerja ekonomi, dengan peningkatan – (minus) 0,53 Persen, yang lebih longgar tumbuh + (plus) 2 persen. Sedangkan yang tidak menjalankan program penyesuaian + (plus) 3,5 persen per tahun (Abrahamsen, 2002 : 148).
Di sisi lain, kondisi kemiskinan semakin buruk. Pada tahun 1990-an, dengan melihat garis kemiskinan ekstrim dengan konsumsi satu dollar AS sehari, kurang lebih 33 persen penduduk dunia di negara berkembang mengalami kesengsaraan. Anehnya, pada tahun 2001, Merril Lynch mengungkapkan bahwa orang-orang yang mempunyai aset sekurang-kurangnya 1 juta dollar AS meningkat empat kali lipat antara tahun 1986-2000. Artinya orang kaya tetap semakin kaya dan yang miskin semakin banyak pula. Jurang sosial menjadi sesuatu yang tidak teelakkan.
Keadaan semakin parah ketika saat ini dengan dimasukkannya pendidikan menjadi komoditas yang dapat diliberalisasi. Liberalisasi di segala bidang termasuk pendidikan saat ini semakin menguat disokong oleh globalisasi yang menurut kaum hiperglobalisasi menjadikan lingkungan ekonomi tanpa batas (economic borderless) dan menempatkan pemerintah nasional tidak lebih dari transmission belts bagi Kapital global (David Held, dkk, 1992: 2). Artinya tanggung jawab pemerintah dalam pendidikan direduksi.
Pendidikan Sebagai Hak Asasi
Padahal, konsepsi tentang hak memperoleh pendidikan merupakan suatu konsepsi yang tidak dapat dilepaskan dari kontruksi HAM. Hal tersebut disebabkan hak memperoleh pendidikan merupakan hak mendasar yang seharusnya dimiliki setiap manusia. Paragrhap (1) Article 26 Universal Declaration of Human Rights, yang berbunyi,
“Everyone has the right to education. Education shall be free, at least in the elementary and fundamental stages. Elementary education shall be compulsory. Technical and professional education shall be made generally available and higher education shall be equally accessible to all on the basis of merit;”
Pasal tersebut menegaskan arti penting pendidikan. Sebuah arti penting bahwa pendidikan merupakan hak setiap orang untuk dapat mengaksesnya. Terutama mendapatkan pendidikan menengah dan dasar dengan gratis. Sedangkan, dalam Article 2 Universal Declaration of Human Rights, yang berbunyi :
“Everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth in this Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status. Furthermore, no distinction shall be made on the basis of the political, jurisdictional or international status of the country or territory to which a person belongs, whether it be independent, trust, non-self-governing or under any other limitation of sovereignty”
menguatkan bahwa hak-hak yang tercantum dalam Piagam Universal HAM merupakan kesatuan dalam konsep HAM yang tidak dapat dipisahkan dari suatu konteks HAM secara global. Termasuk yang didalamnya adalah hak untuk mendapatkan pendidikan.
Selain itu, pasal tersebut juga menegaskan bahwa setiap orang harus dapat mengakses semua hak asasi yang ada tanpa terkeuali. Hal tersebut semakin meyakinkan bahwa hak memperoleh pendidikan adalah hak universal tanpa mengenal ras, agama, maupun letak geogarfis.
Piagam tersebut didukung dan diperkuat kembali oleh berbagai konvenan lainnya seperti
INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS maupun Prinsip-Prinsip Paris. Sedangkan, bila kita melihat jaminan hak untuk mendapatkan pendidikan dalam konteks nasioanal, kita akan menemukan bahwa Indonesia sebagai negara yang mengutamkan hak asasi manusia dalam idealita sangat memprioritaskan masalah pendidikan. Pendidikan merupakan suatu hak yang dilindungi langsung oleh UUD. Dalam Ayat (1) Pasal 31 UUD 1945 menyebutkan bahwa, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”.
Hal tersebut menyebutkan bahwa hak untuk mendapatkan pendidikan merupakan hak yang tidak dapat ditawar lagi karena tercantum langsung di konstitusi yang merupakan fundament norm yang menjadi dasar pijakan negara.
Hak tersebut bahkan di konkritkan melalui amandemen ke empat dengan adanya kewajiban pemerintah untuk membiayainya minimal untuk pendidikan dasar yang diwajibkan bagi warga negara. Seperti yang tercantum pada Ayat (2) Pasal 31 UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
Aplikasi pelaksanaan kewajiban negara dalam bidang pendidikan tersebut diperjelas kembali bentuknya melalui adanya Ayat (4) Pasal 31 UUD 1945, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaranpendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
Sehingga adanya jaminan bahwa pemerintah harus memprioritaskan alokasi anggaran dalam hal pendidikan demi tercapainya tujuan nasional. Konkritsasi dalam bentuk presentase tersebut merupakan sebuah keinginan konstistusi agar pemerintah benar-benar merealisasikan prioritas anggaran pada pendidikan. Prioritas tersebut dibangun dengan sebuah evaluasi dan pembahasan bahwa pendidikan merupakan suatu hak dasar yang penting.
Hal tersebut semakin diperkuat dengan keluarnya UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant On Economic, Social, and Culture yang meratifikasi Convenant On Economic, Social, and Culture yang mengatur hak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut dijelaskan dalam Ayat (1) Pasal 13 UU Nomor 11 Tahun 2005 tersebut, “Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Mereka menyetujui bahwa pendidikan harus diarahkan pada perkembangan kepribadian manusia seutuhnya dan kesadaran akan harga dirinya, dan memperkuat penghormatan atas hak-hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar. Mereka selanjutnya setuju bahwa pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang bebas, meningkatkan rasa pengertian, toleransi serta persahabatan antar semua bangsa dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan lebih memajukan kegiatan-kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memelihara perdamaian.”
Serta dijabarkan melalui ayat 2 yang berisi, “Negara Pihak dalam Kovenan ini mengakui bahwa untuk mengupayakan hak tersebut secara penuh: (a) Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang; (b) Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan teknik dan kejuruan tingkat lanjutan pada umumnya, harus tersedia dan terbuka bagi semua orang dengan segala cara yang layak, dan khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-Cuma secara bertahap; (c) Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap; (d) Pendidikan mendasar harus sedapat mungkin didorong atau ditingkatkan bagi orang-orang yang belum mendapatkan atau belum menyelesaikan pendidikan dasar mereka; (e) Pengembangan suatu sistem sekolah pada semua tingkatan harus secara aktif diupayakan, suatu sistem beasiswa yang memadai harus dibentuk dan kondisi-kondisi materiil staf pengajar harus terus menerus diperbaiki.”
Berbagai peraturan perundangan tersebut semakin menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak asasi yang mendasar harus dipenuhi oleh Negara. Baik dari konteks nasional maupun dalam piagam dan konvensi internasonal karena pendidikan merupakan bagian dari sebuah konsepsi global hak asasi manusia yang bersifat universal tanpa mengenal batas-batas geografis. Menyeluruh dan satu kesatuan dalam sebuah frame besar pembangunan HAM di lingkup nasional maupun Internasional. Dan harus teraplikasi melalui prioritas agenda pembangunan pemerintah yang wajib dipenuhi oleh pemerintah.
Institusi Pendidikan : Komoditas Liberalisasi
Ironisnya institusi pendidikan menjadi salah satu targetan komoditas yang dapat diliberalisasi. Sektor pendidikan dalam GATS (General Agreement on Trade Service) terdiri dari Primary Education Services (CPC 921), Secondary Education Services (CPC 922), Higher Education Services (CPC 923), Adult Education Services (CPC 929). Menurut Darmaningtiyasdi setiap sektor (dan subsektor) selalu tercantum ‘others’ yang berarti sektor lain yang belum tercakup (IGJ,2004). Artinya pendidikan merupakan salah satu sektor yang dapat diliberalisasi.
Hal tersebut tidak terlalu mengherankan melihat konsepsi neoliberalisme adalah konsepsi yang intinya adalah pembebasan arus perpindahkan modal dengan mengurangi sebanyak-banyaknya peran negara dalam mengatur perpindahan modal tersebut untuk menuju suatu keadaan pasar bebas di segala bidang. Konsekuensinya adalah semakin direduksinya peran negara sehingga menurut kaum hiperglobalisasi pada akhirnya menjadikan negara hanya sebagai transmission belts bagi kapital global.
B. Herry-Priyono (2004), menulis, “Neoliberalisme dapat diringkas dalam dua definisi, pertama neoliberalisme adalah paham/ agenda pengaturan masyarakat yang didasarkan pada dominasi homo oeconimicus atas dimensi lain manusia (homo culturalis, zoon poltikon, dan homo socialis, dsb). Kedua sebagai kelanjutan pokok pertama, neoliberalisme kemudian juga dipahami sebagai dominasi sektor finansial dan sektor rill dalam ekonomi- politik. Definisi yang pertama lebih menunjuk ‘kolonialisasi eksternal’ homo oeconomicus atas berbagai dimensi antropologis lain dalam multidimensionalitas manusia, sedangkan definisi yang kedua menunjuk ‘kolonialisasi internal’ homo financialis atas aspek-aspek lain dalam multidimensionalitas tata homo oecominicus itu sendiri”.
Artinya konsepsi neoliberalisasme memang mengedepankan aspek ekomonomi yang bebas. Sedangkan aspek lain dikesampingkan. Konsekuensinya aspek kepentingan publik pun dapat dinomorduakan.
Sedikitnya terdapat empat alasan mengapa pendidikan menjadi salah satu komoditas yang dimasukkan oleh para kapitalis dan elit sebagai bidang yang harus diliberalisasi. Pertama, menurut konsensus washington sebagai perlambang neoliberalisme mensyaratkan secara tidak langsung adanya reduksi peran negara dalam pasar. Berangkat dari sebuah konsepsi bahwa sektor publik pun dapat diliberalisasi, mengindikasikan proses liberalisasi jasa merupakan salah satu upaya menciptakan pasar bebas. Subsidi dianggap sebgai candu bagi masyarakat yang harus disingkirkan karean menghambat terciptanya kemandirian individu dan dianggap mengahambat terciptanya pasar bebas dalam persaingan akumulasi modal. Pendidikan merupakan salah satu sektor yang selama ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah karena merupakan kepentingan umum. Akan tetapi, bila dilihat dari konsepsi neoliberalisme, pendidikan pun harus diliberalisasi untuk mencipatakan pasar bebas.
Kedua, Sektor pendidikan merupakan salah satu bisnis yang paling menjanjikan. Mengingat pada era globalisasi ini, pendidikan bukan lagi berfungsi sebagai jendela yang mencerahkan melainkan syarat kebutuhan untuk meningkatkan status ekonomi. Hal tersebut merupakan keharusan yang harus dimiliki seseorang untuk dapat memauki sistem kerja yang ada. Dalam teori kontruksi sosial kapitalisme, pendidikan merupakan media untuk dapat menghasilkan tenaga-tenaga terdidik maupu terlatih untuk mengisi kebutuhan pasar dalam hal ini infrastruktur kapitalis yang diaplikasikan dalam perusahaan-perusahaan besar. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila pola pendidikan yang dihasilkan berpola instan dan menyesuaikan pada kebutuhan dunia kerja. Hal tersebut yang menyebabkan pola pendidikan yang teraplikasi dalam kurikulum di intitusi pendidikan Indonesia semakin berorentasi kepada kebutuhan pasar.
Ketiga, ketergantungan negara berkembang terhadap lembaga internasional akan bantuan. Terjebaknya negara berkembang dalam hutang terhadap IMF dan Bank Dunia memaksa negara berkembang mengalokasikan anggarannya sesuai pesanan kembaga donor. Liberalisasi pendidikan merupakan salah satu pesanan dari lembaga donor yang notabenenya merupakan institusi penyokong neoliberalisme dunia.
Keempat, masih berhubungan dengan alasan ketiga. Negara berkembang di paksa untuk menggunakan alasan ketidakmampuan negara untuk mensubsidi masyarakat. Hal tersebut didukung dengan data bahwa pada tahun ajaran 2002/2003 saat konsep liberalisasi mulai direalisasikan, subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah masih tinggi. UI sebesar Rp 129 miliar, IPB sebesar Rp 92 miliar, ITB sebesar RP adalah 78 miliar, dan UGM terbesar dengan Rp 310 miliar (Koran TEMPO, 6 Juli 2003). Padahal bila kita melihat kebijakan pemerintah. Pemerintah masiha jauh mengalokasikandana besar pada militer, hutang dan subsidi kepada para pengusaha secara tidak langsung. Alasan ketidakmampuan tidak dapat diterima. Negara lain pun yang pedapatan perkapitanya tidak berbeda jauh dengan Indonesia masih dapat mengalokasikan dananya untuk pendidikan sehingga pendidikan dapat murah bahkan gratis. Sebenarnya semua tergantung pada kemauan politik pemerintah. Atau lebih tepatnya kemauan politik elit.
Akibat Liberalisasi Pendidikan di Indonesia
Proses liberalisasi sektor publik di Indonesia ternyata melaui merambah sektor publik di Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan semakin gencarnya berbagai kebijakan yang dikeluarkan elit mengarah ke arah liberalisasi pendidikan. Kebijakan tersebut jelas merugikan karena mereduksi tanggung jawab negara dalam bidang pendidikan. Konsekuensinya akses pendidikan mejadi semakin tertutup.
Proses reduksi tersebut merupakan konsekuensi dari konsepsi besar neoliberalisme. Menurut Susan Geogre (2000, dikutip dari artikel M Mustafied : : 2003), salah satu doktrin neoliberal harus diadopsi negara berkembang adalah pengurangan proteksi sosial bagi warga negara. Korbannnya jelas merupakan negara dunia ketiga termasuk Indonesia yang tergantung dengan lembaga donor dunia.
Baru-baru ini dimasuknya pendidikan menjadi bidang jasa yang dapat ditanamkan investasi modal melalui Pepres Nomor 77 Tahun 2007 merupakn bukti nyata adanya proses liberalisasi pendidikan di Indonesia. Melalui adanya Pepres 77 Tahun 2007, sektor pendidikan merupakan sektor yang dimasukkan dalam daftar untuk penanaman modal. Hal tersebut merupakan langkah mundur bagi pembangunan hak pendidikan di Indonesia karena bila pendidikan dimasukkan dalam investasi maka sudah pasti biaya pendidikan akan naik dan akses bagi rakyat semakin tertutup. Menurut mantan Rektor Universitas Gadjah Mada Sofian Effendi, masuknya bidang pendidikan sebagai bidang usaha terbuka bagi penanaman modal asing, meski dengan persyaratan, jelas mengindikasikan bahwa pemerintah telah memosisikan pendidikan sebagai komoditas. Kekuatiran tersebut tidaklah berlebihan, mengingat angka investasi yang dapat menyentuh 49 persen menurut Pepres tersebut. Hal ini mengindikasikan memang Indonesia telah mengikuti kemauan para kapitalis Internasional dalam pengambilan kebijakan menyangkut sektor publik.
Peprres tersebut tidak dapat dilepaskan dari konstilasi politik Internasional. Fakta menunjukan Kesepakatan GATTs merupakan bukti nyata bahwa liberalisasi pendidikan bukanlah hanya isu semata. Dalam ketentuan GATS sendiri setiap anggota WTO berhak mengajukan permintaan dan penawaran untuk sektor-sektor yang akan diliberalisasi. Jasa pendidikan, jasa keuangan, dan kesehatan merupakan sektor yang ditawarkan untuk diliberalisasi. Adapun batas waktu initial offer dan initial request sektor-sektor jasa yang akan diliberalisasi pada Mei 2005, dan akan dibahas pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) di Hong Kong Desember 2005. Sedangkan dari pihak pemerintah kementerian pendidikan ternyata tidak mengajukan keberatan. Padahal bila pemerintah mengajukan keberatan, pendidikan dapat tidak dimasukkan dalam bidang yang dinegoisasikan. Hal tersebut menunjukan tidak ada itikad pemerintah untuk menolak liberalisasi pendidikan. Walaupun Forum Rektor Indonesia (FRI) dan Majelis Rektor Perguruan Tinggi (MR-PTN) secara resmi telah menyatakan penolakan WTO. Bahkan, pernyataan resminya sudah dikirim ke UNICEF dan WTO. Sayangnya, pihak pemerintah masih mengeluarkan kebijakan yang sejalan dengan kesepakatan yang bermuatan neoliberalisme di Indonesia.
Tidak terpenuhinya amanah konstitusi untuk adanya prioritas minimal 20 % bagi pendidikan oleh pemerintah tidak terelepas dari tidak diprioritaskannya pendidikan oleh Indonesia. Alokasi 20 % merupakan angka minimal sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam hal pendidikan. Sayangnya, sampai hari ini anggaran tersebut belum tercapai. Pada tahun 2007 dari sekitar Rp 495,9 triliun rencana alokasi, pendidikan hanya mendapatkan porsi 10,3 persen atau sekitar Rp 51,3 triliun. Memang secara keseluruhan anggaran pendidikan mengalami kenaikan dari tahun 2006, yang sekitar Rp 43,3 triliun. Tapi kenaikannya sangat kecil, kurang dari 2 persen saja. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah belum cukup bertanggung jawab dalam masalah hak pendidikan yang berhubungan pula dengan adanya liberalisasi pendidikan di Indonesia.
Padahal 20 % tersebut di konstitusi merupakan suatu parameter perhatian pemerintah terhadap hak pendidikan. Bahkan dalam putusannnya Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan selama tidak memenuhi 20 % maka pemerintah masih melanggar konstitusi yang ada. Akibat tidak terpenuhi anggaran pendidikan tersebut, sebagai contoh di Sukabumi yang tidak terlalu jauh dari pusat pemerintahan, pada tahun 2007, 46 ribu orang lulusan Sekolah Dasar (SD) tidak dapat melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi hanya karena masalah biaya. Belum lagi pada tingkatan nasional angka yang putus sekolah masih cukup tingggi.
Rancangan undang-undang Badan Hukum Pendidikan pun disinyalir bermuatan konsep liberalisasi pendidikan di Indonesia. Hingga saat ini belum diselesaikannya karena dikuatirkan hanya menjadi penjelmaan lain dari BHMN. UU Sidiknas pun dianggap sebagai langkah awal pelegalan liberalisasi pendidikan di indonesia.
Liberalisasi Institusi Perguruan Tinggi
Pasca reformasi 1998, berbagai tuntutan perubahan menggema diseluruh nusantara. Kebebasan dan demokrasi menjadi mantra sakti yang didengungkan di penjuru negeri. Termasuk tuntutan adanya otonomi sebebas-bebasnya dalam pengembangan kurikulum bagi institusi pendidikan sebagai anti-tesis dari sentralistisnya kurikulum yang membawa kepentingan doktrinasi Orde Baru. Akhirnya, melalui pemberlakuan PP 60 Tahun 1999 dan PP 61 Tahun 1999, terbukalah secercah harapan adanya otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi.
Akan tetapi, tenyata otonomi kampus tersebut yang seharusnya menjadikan kampus sebagai intitusi yang lebih bebas dan dapat diakses oleh seluruh elemen masyarakat tidak terwujud. Otonomi kampus yang diharapkan menjadi otonomi di bidang akademik disisipi agenda liberaliasasi pendidikan. Sehingga pendidikan yang sudah jelas dalam konstitusi UUD 1945 sebagai tanggung jawab Negara direduksi mengikuti kemauan pasar. Beban biaya penddidikan dialokasikan ke masyarakat. Status Perguruan Tinggi berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Karena peran Negara direduksi. Pendidikan menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan. Untung rugi termasuk menjadi pertimbangan utama. Perguan Tinggi (PT) seakan-akan berpindah fungsi menjadi Perseroan Terbatas (PT). Hal tersebut terlihat mahalnya biaya pendidikan. Kenaikan biaya pendidikan tertjadi di seluruh Indonesia. Perguruan Tinggi berstastus BHMN menjadi. Termasuk Universitas Gadjah Mada (UGM).
Faktanya pasca berlakunya PP 153 Tahun 2000 yang menetapkan UGM bersatstus BHMN, kenaikan biaya terjadi secara signifikan di UGM. Sebeluam adanya satstus BHMN pada tahun 1998 untuk masuk UGM hanya membutuhkan biaya Rp. 250.000,00 padahal di puncak krisis ekonomi. Sekarang biaya minimal untuk masuk ke UGM Rp. 7.240.000, 00 yang terdiri dari SPP, BOP, dan SPMA minimal fakultas Hukum. Terjadi kenaikan sebanyak 28, 96 kali dari sebelum berstastus BHMN. Itupun untuk fakultas social. Untuk fakultas Kedokteran dengan biaya minimal Rp. 12.400.000,00, maka terjadi kenaikan sampai 49,6 kali dari biaya sebelum berstatus BHMN. Kenaikan biaya tersebut terjadi melalui beberapa cara dan tahapan. Mulai dari pengenaan SPMA yang semakin besar sampai kenaikan BOP yang terus memerus.
Hal tersebut tentu saja menimbulkan efek yang luar biasa. Bukan hanya dalam lingkup UGM tetapi lingkup nasional turut pula terpengaruh. Setidaknya ada beberapa akibat besar akibat kenaikan biaya tersebut. Pertama, tertutupnya akses masyarakat tidak mampu untuk dapat masuk ke UGM. Walaupun selama ini UGM menyediakana beasiswa tetapi beasiswa yang disediakan tidak sebanding dengan akibat dari pemberlakuan BHMN UGM. Selain itu, sistem online pendaftaran UM UGM yang menyeluruh semakin menutup kemungkianan bagi siswa tidak mampu untuk mengakses pendidikan kareana untuk memperoleh SPMA (Rp,0,00) cukup sulit diakses. Hal ini pun berlaku di universitas lain. Terutama di perguruan tinggi yang menjadi pilot project di Indonesia yang diotomi. Seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Sumatra Utara (USU).
Kedua, terhambatnya mobilitas vertical sosial masyarakat. Pendidikan selama ini mempunyai peran sebagai sarana untuk meningkatkan status ekonomi masyarakat. Akan tetapi, akses pendidikan yang tertutup bagi mayarakat tidak mampu menyebabkan masyarakat tetap terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan.
Ketiga, bergesernya fungsi perguruan tinggi menjadi penyedia tenaga kerja. Melalui sistem pendidikan yang mahal, peserta didik terjebak dalam sistem yang memaksa untuk cepat lulus dan menutup modal yang dikeluarkan selama kuliah. Sistem tersebutlah yang dikehendaki oleh jerat koorporasi global sehinga perguruan tinggi bukan lagi menjadi sarana pengembangan intelektual melainkan penghasil tenaga kerja untuk kepentingan dan kelangsungan kapitalisme global. Kepekaan terhadap realitas sosial menjadi terabaikan. Hasilnya, bangsa ini kehilangan Advokat yang mau membela kaum miskin. Kita kehilangan dokter-dokter yang mau terjun ke bantaran kali code atau pelosok daerah kumuh Jakarta.
Keempat, Pada akhirnya bangsa ini kehilangan negarawan yang mau mengorban dirinya untuk kepentingan rakyat karena sistem komersil yang membentuk dirinya. Logika yang terbangun di generasi muda Indonesia semakin terjebak pada logika pasar yang mengutamakan untung rugi. Padahal, bila kita tilik sejarah mulai dari perubahan di Kuba oleh Che Guevara dan Fidel Castro, Revolusi di Indonesia oleh Hatta, Syarir, Soekarno, dan pejuang lain sampai Revolusi Islam di Iran oleh Khomeni dan Ali Syariati, semua merupakan kaum intelektual terdidik yang kritis terhadap kondisi bangsa. Bahkan, Pendidikan di letakkan dalam prioritas utama untuk kemajuan di banyak Negara.
Label: OPINI
Diposting oleh Mas Lakso Center di 19.10 0 komentar
Assalamualaikum
Assalamu'alaikum.
Baca selanjutnya..Label: NEWS
Diposting oleh Mas Lakso Center di 14.10 0 komentar